Misoginy Sejati Read Count : 110

Category : Diary/Journal

Sub Category : N/A
    Dulu, aku tumbuh dengan meyakini bahwa lingkunganku adalah lingkungan yang terbaik karena disini hampir tidak ada yang namanya kejahatan besar yang menggemparkan seperti tindak kriminal dalam berita yang rasanya tak henti-hentinya terjadi di televisi. Seakan kejahatan tak pernah istirahat selama 24 jam di dunia seberang sana. Dunia aneh yang sepertinya rawan kekerasan dan membawa malapetaka bagi orang yang cinta damai seperti rakyat di desaku. 

Dulu, dadaku selalu mengembang setinggi langit ketika orang-orang menyebut desaku dan orang-orang di dalamnya. Mereka menyebut nama kami seakan nama kami mengandung ayat suci yang membuat mereka tertunduk. Oh, aku tidak akan bohong, kebanggaan itu terkadang menyelip tanpa aku sadari meski ketika aku menyadarinya aku merasa, buruk. Disini, desaku di kelilingi oleh keluargaku sanak saudara, paman-pamanku dan ayahku yang merupakan tokoh agama yang disegani oleh masyarakat. 

Aku bangga sekali, dulu, telah menjadi bagian dari sesuatu yang besar dan aku ingin tidak hanya menikmati dari hasil perjuangan mereka tapi aku pun ingin berjuang. Karena aku adalah tipe orang yang tidak mau mengambil enaknya saja.

    Akupun masuk sekolah agama dengan ide yang melekat di kepala, suatu saat aku akan menggantikan mereka. Estafet muda kata orang. 

    Tahun demi tahun kulalui di sekolah agamaku, selalu menerima ideologi dan dogma tanpa mempertanyakan apapun, karena katanya kita tidak boleh mempertanyakan validitas para guru, mereka lebih pintar dari kita dan lebih dekat dengan Tuhan. Hingga tiba saatnya salah seorang guru dengan pikiran terbuka melihat potensiku lalu memintaku untuk mengikuti salah satu lomba untuk mendapatkan beasiswa di luar negeri. Dengan senang hati kutelepon orang tuaku, dan jawaban yang kudapatkan sangatlah menyenangkan, "perempuan tidak boleh. Gak usah macam-macam biar adik-adikmu saja nanti yang berangkat. Seorang perempuan nanti tugasnya hanya di rumah."

   Bisa kau bayangkan pikiranku saat itu. Oh, tugasku cuma di rumah ya. Nanti. Kenapa repot-repot menyekolahkanku di asrama agama kalau nanti cuma berakhir di rumah? Kenapa harus menunggu adik laki-lakiku kalau aku bisa? Aku lebih giat dari adikku, bahkan aku adalah siswi dengan nilai cemerlang dan IQ tinggi, aku tau ini tidak menjamin apa-apa tapi setidaknya itu menunjukkan bahwa aku tidak bodoh bukan? 

    Akhirnya setelah lulus aku menjadi seperti yang mereka harapkan, sebagaimana definisi orang-orang sebagai wanita baik-baik menikah dan menjadi istri dan seorang ibu. 

    Hal itu mungkin lama berlalu tapi kejadian yang mungkin kata orang remeh malah menumbuhkan kesadaranku, betapa di lingkunganku wanita tak ubahnya hamba sahaya yang harus menurut pada semua kata orang termasuk anaknya sendiri bila anaknya laki-laki. 

Waktu membuka mataku, orang tuaku adalah gambaran umum orang tua dan lelaki di lingkungan ini. Perempuan tidak boleh keluar sembarangan, tidak boleh mempunyai teman laki-laki, tidak boleh menyetir, jangan menguasai sesuatu yang seharusnya dikuasai laki-laki. Celana adalah hal yang terlarang. Perempuan hanya boleh bergelut di ranah domestik, memasak, menjahit dan sebagainya. Bagaiamana jika aku lebih suka menyetir? Dan bekerja di ranah publik? mimpi!

 Baru kusadari ternyata desaku bukan surga, mungkin surga, tapi surga bagi para misoginis. Dan neraka bagi seorang wanita yang hanya bisa menangis dalam hati dan menjeritkan  kebebasannya dalam diam. 

    kini aku tidak tahu lagi apa yang harus kurasakan mengenai lingkunganku dan tradisi yang melekat seperti sebuah parasit bertengger di belakang kepala para lelaki dan wanita yang mendukung praktek yang sangat merugikan kaumnya.

Comments

  • No Comments
Log Out?

Are you sure you want to log out?